— antologi: Raisa Kamila, dkk.
Lama-lama Ela bercerita lebih jauh tentang apa yang dialaminya saat ada kekacauan di Dili. Rumah-rumah diserang entah oleh siapa. Tentara-tentara bertebaran di jalan-jalan dengan senjata yang menakutkan. Kendaraan tentara yang bernama tank muncul di jalan raya. Dalam cerita Ela, tank seperti punya dua sisi. Menakutkan dan mengagumkan sekaligus. Gagah dan horor di saat yang bersamaan.”

Antologi cerita pendek karya Raisa Kamila dkk ini memuat kisah-kisah perempuan dari berbagai daerah (Aceh, Timor, Sidoarjo, Makassar, Semarang, Ternate) pasca-Reformasi.
Cerita-ceritanya beragam, mulai dari pertemanan anak-anak pengungsi dari Dili dan Kupang yang menghadapi kerusuhan baru di Atambua, perempuan-perempuan di Aceh yang menyikapi isu kemerdekaan dan kewajiban berjilbab, sampai kepopuleran kue krismon di Makassar dan pasar-pasar murah para pedagang Tionghoa di Semarang untuk mencegah ancaman kekerasan.
Satu kata yang muncul di benak saya ketika membaca buku ini: rindu! Waktu kecil, salah satu buku favorit saya adalah kumpulan cerpennya Bobo karena ringan tapi padat berisi pelajaran hidup, dan mampu mengaduk-aduk emosi karena ceritanya terasa sangat nyata, mengenai orang-orang di keseharian kita. Reading this book felt exactly like that. Temanya boleh terdengar “berat”, tapi Raisa dkk berhasil mengemas isu dan permasalahan yang berat secara ringan tapi tetap “kena” (a skill I wish to have!).
Oh ya! Sebagai anak Sastra Dunia yang selalu dicekoki konsep “pusat dan periferi”, satu hal yang juga harus diacungi jempol adalah kesadaran para penulis bahwa selama ini narasi Reformasi hanya berkutat pada apa yang terjadi di Jakarta, padahal di saat yang bersamaan banyak sekali perubahan yang terjadi di luar ibukota. Dan jujur belajar banyak: konflik berdarah antara kelompok Obet (Kristen) dan Acang (Muslim) di Maluku, pembakaran kantor UNHCR di Atambua yang menewaskan 3 staf PBB, peristiwa Amarah di Makassar.
Hands down salah satu buku terbaik yang saya baca di tahun 2019.
My rating: 5/5.